Kiriman: Ichwan Prasetyo, 22 Februari 2012
“Rahma Anggareni, 31, warga Margaasih Indah, Cimahi Selatan, Bandung bersama Rico Milano, 41; Wahyu Fitiyanto, 28; Siswandi, 25,; Afriyanto, 29; Oyi Sukandar, 38,; Iskak Santika, 19 dan Sansan Sanjaya, 50, mengayuh sepeda onthel menempuh jarak Jakarta-Bali.
Mereka memanfaatkan masjid dan musala di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di pinggiran jalan untuk menginap semalam. Untuk memenuhi kebutuhan logistik, mereka mengandalkan bekal makanan dan uang saku yang mereka bawa dari rumah masing-masing.
Voanews.com memberitakan pada Selasa, 21 Februari 2012, rombongan pesepeda tunarungu ini mampir di Balaikota Solo. Mereka ditemui Wakil Walikota Solo, FX Hadi Rudyatm. Mereka bertemu Rudy–panggilan akrab Wakil Walikota Solo–dengan mengenakan kaus putih bertuliskan Indonesia Deaf Bike Adventure atau Komunitas Tunarungu Bersepeda Indonesia.
Realitas diskriminasi dirasakan sebagian besar difabel di Indonesia di semua sektor kehidupan. Di dunia pendidikan, mereka kesulitan masuk ke sekolah biasa, bukan SLB. Sementara di beberapa daerah, termasuk di Solo, sudah menerapkan program sekolah inklusi, namun pelaksanaannya jauh dari optimal.
Baca di: http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/23/tak-sepantasnya-difabel-didiskriminasi/