Kiriman: Bambang Priantono, 15 Juni, 2012
Jika mendengar kata gamelan, perasaan saya langsung seperti tergetar. Bukan karena kena gempa bumi atau letusan gunung berapi, tapi seperti ada sensasi yang merasuk ketika mendengar alunan gamelan. Sejak kecil saya sudah dibiasakan untuk mendengarkan gending-gending Jawa oleh Almarhum Eyang Kakung saya sebagai musik nina bobo. Saat sekolahpun saya sangat familier dengan gamelan Jawa, kendati belum diberi kesempatan untuk memainkannya dengan alasan masih terlalu kecil.
Namun yang disayangkan saat ini adalah minat generasi muda kita untuk mempelajari gamelan milik sendiri kian hari kian berkurang. Tak bisa dipungkiri memang globalisasi yang menderas saat ini membawa dampak luar biasa bagi bangsa kita. Seni-seni populer dari luar negeri terlebih dari Amerika, Jepang, bahkan Korea dengan Korean Wavenya membanjiri pangsa pasar permusikan dan berkesenian di Indonesia. Kalau ditanya pada generasi kita saat ini apakah mereka berminat untuk belajar gamelan? Jawaban iya paling-paling hanya diperoleh dari minoritas kecil anak muda.
Sungguh disayangkan bila saat ini generasi muda negeri ini lebih memilih mendalami atau menyukai musik-musik dari luar, orang asing khususnya barat justru menunjukkan minat luar biasa akan seni gamelan ini, apakah itu gamelan Jawa ataukah gamelan Bali. Ketika saya menyaksikan tayangan features VOA yang berjudul Gamelan Raga Kusuma yang ditayangkan di websitenya tertanggal 15 Juni 2012.
Baca di http://bambangpriantono.multiply.com/journal/item/3428/Gamelan-Kita-Kalau-Bukan-Kita-Siapa-Lagi