Kiriman: Radillah Khaerany, 7 September 2012
Bahasa minoritas di seluruh dunia terancam punah. Barbagai hal menjadi faktor penyebab punahnya bahasa-bahasa. Mulai dari urbanisasi, televisi, hingga kebijakan pemerintah sendiri.
Pulang kampung pada Idul Fitri kemarin berhasil bikin saya berpikir betapa saya tidak fasih berbahasa asli kampung bapak saya. Selama berada di kampung bapak saya semuanya menggunakan bahasa Duri. Saat ada yang ngajak saya ngobrol, saya hanya bisa mengerti sedikit-sedikit tapi tidak bisa menggunakannya dengan fasih. Istilahnya, saya hanya menguasai bahasa Duri secara pasif. Padahal baik bapak maupun mamak saya fasih berbahasa Duri.
Hal yang sama saya yakini juga terjadi pada sebagian besar kaum urban. Hidup di kota yang berpenduduk heterogen sedikit demi sedikit menjauhkan bahasa daerah dari lidah. Yang digunakan kemudian adalah bahasa Indonesia berdialek kota setempat.
Tingginya angka urbanisasi yang berdampak pada terancamnya eksistensi bahasa daerah inilah yang membuat Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono menyatakan bahwa di penghujung abad 21, hanya tinggal 10% bahasa daerah yang akan bertahan. Hal ini dijelaskan pada artikel VOA yang berjudul Jarang Digunakan Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah. Berbagai gerakan melestarikan bahasa yang terancam punah mulai dilaksanakan di Indonesia, Amerika Serikat, dan dunia. Sudah menjadi kewajiban kita, selagi bisa, untuk turut menyelamatkan bahasa daerah kita agar tidak benar mati nantinya.
Baca di: http://kyosotoy.blogspot.com/2012/09/menyelamatkan-bahasa-yang-terancam-punah.html