Apapun pendapat Anda mengenai kebijakan luar negeri AS, saya pikir Hillary Clinton layak dipuji. Bayangkan, begitu banyak krisis datang bertubi-tubi, mulai dari krisis finansial global, peningkatan pasukan AS di Afghanistan, mengakhiri keterlibatan AS di Irak, gempa bumi Haiti, gelombang reformasi Timur Tengah hingga krisis nuklir Jepang. Semuanya menuntut perhatian sang Menlu. Menurut majalah People, Hillary Clinton melebihi 66 menlu pendahulunya dalam hal kunjungan kenegaraan – selama 15 bulan memimpin Departemen Luar Negeri AS hingga minggu lalu, Clinton bepergian ke 80 negara, dengan total jam penerbangan 1075 jam!
Sekali lagi, Hillary Clinton layak dipuji. Tapi entah mengapa, ia kurang dihargai. Banyak warga Amerika yang masih melihatnya sebagai sosok yang tak bersahabat, tough, haus kuasa sejak dari jaman ia menjadi Ibu Negara, saat duduk di Senat hingga sekarang menjabat menjadi Menlu. Saya tak sependapat. Menurut saya ia adalah seorang pemikir cerdas sekaligus pelaku yang efektif. Ada dua hal yang melandasi pandangan saya ini. Pertama, penekanan Clinton atas pendekatan soft power dalam politik luar negeri AS. Kedua, perjuangannya untuk menempatkan kesetaraan hak perempuan sebagai isu keamanan yang layak diprioritaskan.
Soft power, adalah istilah yang digunakan pemikir hubungan internasional Joseph Nye untuk menggambarkan instrumen kebijakan luar negeri suatu negara yang digunakan untuk ‘mencapai tujuan melalui atraksi/ ketertarikan dan bukan pemaksaan’. Intinya, menggunakan pendekatan non-militeristik untuk mencapai tujuan politik luar negeri. Karena namanya yang kurang gagah dan berkesan lembek, soft power juga sering disebut sebagai smart power. Inilah strategi yang ditekankan Hillary Clinton selama menjabat – mendukung perubahan yang terjadi di suatu negara agar sesuai dengan agenda Amerika, yaitu penegakan demokrasi dan HAM. Pada setiap kunjungan luar negeri misalnya, Clinton selalu meluangkan waktu untuk bertemu aktivis perempuan, mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat madani, untuk memberikan semangat dan dukungan bagi perjuangan mereka. Ia juga aktif mendorong isu-isu seperti kebebasan internet dan kebebasan pers di seluruh dunia. Ia mencoba merangkul generasi muda, seperti yang dilakukannya pada acara ‘Dahsyat’ di RCTI dalam kunjungannya ke Jakarta tahun 2009.
Pada awalnya, pendekatan Clinton dicemooh. Jenderal-jenderal dan politisi Amerika yang terbiasa dengan bahasa senjata menganggap pendekatan ini sebagai ‘keputrian’ dan tak bersubstansi. Tapi sekarang, lihat wujudnya. Gelombang perubahan di berbagai negara Timur Tengah bukan dicetus oleh operasi militer melainkan dimotori oleh kaum muda yang menuntut hak atas keleluasaan berpikir dan bergerak. Gerakan ini merambat demikian cepat, antara lain karena peran internet, khususnya media sosial. Inilah buah strategi soft power. Inilah wujud Doktrin Clinton.
Hillary Clinton juga layak dipuji atas perjuangannya atas hak perempuan. Dalam pidatonya di hadapan Komisi PBB untuk Status Perempuan 2010, Clinton menggambarkan kondisi perempuan di dunia sebagai berikut, “Sebagian besar petani di dunia adalah perempuan, namun mereka sering dilarang memiliki lahan yang mereka pelihara atau meminta pinjaman bank untuk investasi ke lahan tersebut. Perempuan merawat orang yang sakit namun seringkali mereka tidak mendapat perawatan ketika sakit. Perempuan membesarkan anak-anak namun seringkali tidak mendapat perawatan cukup saat melahirkan, sehingga persalinan tetap menjadi penyebab kematian utama perempuan di dunia. Perempuan jarang menjadi sumber konflik bersenjata namun selalu menjadi korban. Ketika pihak bertikai berunding, perempuan tak diikutsertakan meskipun perundingan ini membahas masa depan mereka dan anak-anak mereka”.
Dalam memperjuangkan perbaikan nasib perempuan, Clinton menggunakan strategi yang sangat cerdas – menempatkan isu ini sebagai sebuah isu keamanan, sehingga layak diutamakan. Menurutnya, “Jika kita melihat berbagai konflik akhir-akhir ini, ada hubungan langsung antara penindasan pada perempuan dan ekstrimisme. Jadi layak bagi Amerika untuk memperjuangkan hak perempuan, karena dengan demikian akan meningkatkan keamanan kita sendiri”.
Argumen ini mencengangkan. Bayangkan, sebuah negara adidaya menempatkan pemberdayaan perempuan dan anak-anak perempuan sebagai landasan utama politik luar negerinya. Ini berarti setiap langkah PLN AS harus berdampak positif bagi perempuan. Bukan karena isu kesetaraan jender dianggap sebagai isu moral, isu kemanusiaan, isu keadilan, melainkan sebagai isu keamanan dan perdamaian. Premis Clinton adalah, kesetaraan jender akan meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat suatu negara sehingga mengurangi sumber konflik dan membuat negara menjadi lebih stabil dan damai.
Tahun 2012 nanti, saat masa jabatan Presiden Obama yang pertama habis, Hillary Clinton sudah menyatakan tidak lagi bersedia menjabat Menlu. Ia ingin melakukan hal lain, katanya. Apapun hal itu, saya harap Hillary Clinton akan meneruskan perjuangannya, memberikan suara dan semangat bagi perempuan dunia.
Salam hangat dari Washington.
7 responses to “Anda Hebat, Madam Secretary!”
@ Hillary Clinton :
http://my.opera.com/ColorsBearer/blog/show.dml/29829522 .
:p.
@ Hillary Clinton :
Menurutmu apakah Aku, Scor dapat dan bisa mengampuni kamu?.
Bukan hal di dunia ini Scor bicarakan!.
Pakai akal sehat dan logika kamu!.
Mana uangnya?.
@ Hillary Clinton :
Mana uangnya?.
Pakai akal sehat dan logika kamu!.
?. (?).
Mana uangnya?.
Mana uangnya? (?).
*Scor* ‘cuma’ ‘memerlukan’ ‘uang’ ‘saja’!.
?.