Dari dulu saya “naksir” Bill Clinton. Di tahun 90an ketika kebanyakan perempuan seusia saya saat itu tertarik bintang Hollywood seperti Val Kilmer dan Emilio Estevez, saya tergila-gila Bill Clinton, terutama setelah (diharuskan) mempelajari kebijakannya untuk mata kuliah Politik Global AS di jurusan Hubungan Internasional FISIP-UI. Itu sebabnya saya selalu senang setiap kali mantan Presiden ini kembali masuk berita, baik itu berita ringan seperti ketika ia mantu putrinya Chelsea atau berita serius dan mencengangkan seperti kemunculannya yang tiba-tiba di Gedung Putih minggu lalu.
Sungguh peristiwa yang gurih bagi penggemar politik. Presiden AS yang ke-44, Barack Obama, babak belur dihantam dari kanan (Partai Republik), kiri (kubu liberal dan partainya sendiri, Partai Demokrat) dan dari segala arah (sebagian besar rakyat Amerika) berpaling ke Bill Clinton, Presiden AS yang ke-42, politisi ulung, tokoh karismatik dan dicintai rakyat.
Ini bermula dari kompromi yang dilakukan Presiden Obama dengan kubu Republik, untuk memperpanjang potongan pajak era Presiden Bush bagi seluruh rakyat Amerika, termasuk kaum berada. Padahal ketika kampanye presiden dulu, kandidat Obama bersumpah menghapus keringanan pajak untuk orang kaya. Menurut Obama kompromi ini dilakukan untuk mendapat persetujuan Republikan yang kini menguasai Kongres, terhadap serangkaian program pemerintah untuk kelas menengah, termasuk tunjangan bagi pengangguran. Langkah ini mengundang amarah dari kubu liberal serta politisi partai Demokrat. Di sinilah Presiden Obama berpaling ke Clinton. Setelah bertemu pribadi, Obama membawa Clinton ke ruang konpers. Kata Obama, “Mengingat Presiden Clinton menjabat selama masa ekonomi tangguh, ada baiknya kita minta pendapatnya.”. Obama kemudian menyerahkan podium kepada Clinton yang bicara panjang lebar, menekankan bahwa kompromi ini harus dilakukan dan bahwa ia pun akan melakukan hal yang sama kalau saat ini menjabat. Sementara Clinton, seorang yang gemar dan lihai berada dalam sorotan publik memukau wartawan, Presiden Obama berdiri di pinggir panggung untuk akhirnya pamit sepuluh menit kemudian dengan alasan ditunggu istrinya kondangan Natal.
Sebegitu terpojokkah Obama? Tak cemaskah ia bahwa ia akan kelihatan lemah dan tak berdaya di samping Presiden Clinton yang tampak lebih matang dan kompeten? Lupakah ia bahwa salah satu alasan mengapa ia tak jadi mengangkat Hillary Clinton yang kini menjabat Menlu sebagai WaPres adalah karena semua orang akan bingung soal peran suami Hillary. Belum pernah dalam sejarah Amerika seorang mantan Presiden jadi suami WaPres. Bayangkan betapa canggung suasana Gedung Putih, apalagi mengingat Bill adalah orang yang tak mungkin duduk diam di kursi belakang. Sudahkah pula Obama melupakan pertikaian pribadi antara mereka di tahun 2008? Ketika itu kampanye sengit antara Hillary Clinton dan Obama membuat hubungan Bill dan Barack ikut tegang.
Tapi kini, Bill Clinton dengan starpower/kharisma dan pengalaman politiknya menjadi penasihat tak resmi dan asisten serba bisa bagi Obama. Ini bukan kali pertama Obama minta bantuan Clinton. Selama masa pemilu sela kemarin Bill Clinton seolah menjadi “Michael Clayton” bagi Obama, seorang /troubleshooter /pelurus masalah/penggalang dana/pelobi politik di balik layar. Kali inipun tampaknya Barack Obama sungguh kuatir Kongres memblokir RUU potongan pajak ini dan membuat pemerintahan lumpuh sehingga ia rela menelan gengsinya. Berikut transkrip konpers mereka minggu lalu:
Saya tunggu komentar anda. Salam dari Washington!
*Blog ini berisi opini penulis yang tidak mencerminkan pendapat maupun posisi editorial VOA.